Home > Pendidikan > Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa

“…Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia,…” (Pembukaan UUD 1945, Alinea ke-4)

Dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan bahwa salah satu tujuan Negara R.I. adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejak awal kemerdekaan, kita bertekad “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dari perkataannya jelas, “kehidupan”-lah yang harus dicerdaskan, bukan sekadar kemampuan otaknya.

Mencerdaskan kehidupan bangsa lebih merupakan konsepsi budaya daripada konsepsi biologis-genetika. Para pendiri Republik menolak sikap dan perilaku ke-inlander-an, yaitu sikap hidup sebagai inlander, sebagai yang terjajah, terbenam harga dirinya, penuh unfreedom atau keterbelengguan diri. Kehidupan yang cerdas menuntut kesadaran harga diri, harkat, dan martabat, kemandirian, tahan uji, pintar dan jujur, berkemampuan kreatif, produktif, dan emansipatif. Di sinilah barangkali pemikiran para pendiri Republik ini dikatakan menembus masa, mendahului lahirnya paham-paham pembangunan progresif yang menempatkan manusia sebagai subjek luhur: bahwa pembangunan adalah pembangunan manusia seutuhnya. Amartya Sen menyatakan, pembangunan merupakan upaya perluasan kemampuan rakyat (expansion of people’s capability) dan ia juga menegaskan, pembangunan merupakan pembebasan (development as freedom). Demikian pula Chakra Varty memberi arti pembangunan sebagai perluasan kreativitas rakyat (expansion of people’s creativity), sedangkan Rajni Kotari, seorang tokoh pemikir India, menegaskan perlunya melaksanakan strategi pembangunan partisipatif, yaitu strategi “. which not only produces for the mass of the people but in which the mass of the people are also producers.”. Sementara itu, Hatta mengutamakan pendekatan partisipatori-emansipatori ekonomi dengan istilah “demokrasi ekonomi”. Hatta mengecam keras ucapan diskriminatif Helfferich yang merendahkan harga diri bangsa Indonesia, yang mencap bangsa kita sebagai kuli di bawah bangsa-bangsa lain, sebagai eine Nation von Kuli und Kuli unter den Nationen (Kompas, 28/5/2004). Dari situ Hatta menggemakan adagium patriotiknya “Menjadi Tuan di Negeri Sendiri”.

Kata mencerdaskan kehidupan bangsa mempunyai makna yang mendasar. Cerdas itu berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan nyata. Cerdas bukan berarti hafal seluruh mata pelajaran, tapi kemudian terbengong-bengong saat harus menciptakan solusi bagi kehidupan nyata. Cerdas bermakna kreatif dan inovatif. Cerdas berarti siap mengaplikasikan ilmunya untuk dirinya dan lingkungan yang dia hadapi. Hidup itu adalah rahmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa sekaligus ujian dari-Nya. Hidup itu memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan kepada-Nya. Ada catatan penting bahwa jasad yang hidup belum tentu memiliki ruh yang hidup-begitu kata para pater, pendeta, ulama dan lainnya. Bisa jadi, seseorang masih hidup tapi nurani kehidupannya sudah mati saat dengan santainya dia menganiaya orang lain, saat dia menguras kekayaan orang lain, melakukan tindak korupsi, bahkan saat dia merasa bahwa dia adalah yang paling berbudaya dan termodern. Filosofi hidup ini sangat sarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan seorang manusia, memberikannya makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral dan tujuan hidup. Tentang bangsa. Manusia selain sesosok individu, dia juga adalah makhluk sosial. Dia adalah komponen penting dari suatu organisme masyarakat. Sosok individu yang agung, tapi tidak mau menyumbangkan apa-apa bagi masyarakatnya, bukanlah yang diajarkan agama maupun pendidikan. Setiap individu mempuyai kewajiban untuk menyebarkan pengetahuannya kepada masyarakat, berusaha meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitarnya, dan juga berperan aktif dalam dinamika masyarakat. Dimana Masyarakat adalah identitas suatu bangsa. Hasan Al-Banna dalam Maj’muatur Rasail memberikan formulasi kepribadian cerdas; “Memperbaiki diri sendiri, sehingga ia menjadi orang orang yang kuat fisiknya, kokoh akhlaknya, luas wawasannya, mampu mencari penghidupan, selamat akidahnya, benar ibadahnya, melakukan mujahadah terhadap dirinya sendiri, penuh perhatian akan waktunya, rapi urusannya, dan bermanfaat bagi orang lain. Itu semua adalah kewajiban bagi setiap al-akh.”

Menurut Daoed Joesoef (2008) Mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui pendidikan sebab kecerdasan tidak genetically fixed, tetapi dapat diajarkan. Berhubung anak didik adalah warga bangsa, melalui kecerdasannya karakter bangsa dibantu membaik menjadi terpuji. Jadi, mendidik anak bangsa tidak hanya merupakan keharusan konstitusional, tetapi juga moral. Pendidikan untuk semua anak perlu dipertegas dengan keharusan sosial, yaitu memberi pendidikan yang sama kepada anak perempuan dan laki-laki. Kesamaan ini merupakan keharusan mengingat jenis kolektivitas yang dikehendaki adalah kehidupan berbangsa di mana ada keadilan jender dan political independence bagi perempuan, yang berarti punya hak suara, hak memilih dan dipilih untuk memegang jabatan politis dan jabatan teknis apa saja yang dia mampui secara fisik dan mental. Ketiga keharusan itu perlu digenapi keharusan ekonomis, yaitu pendidikan untuk semua harus diartikan sebagai pendidikan yang menjangkau anak miskin dan cacat, tidak terbatas anak kaya dan sempurna. Kehidupan bangsa baru dapat dikatakan cerdas bila tiap warganya yang berlatar belakang apa pun dapat naik dari tempat kelahiran terendah ke tingkat pencapaian tertinggi berkat pendidikan. Lagi pula bangsa yang berhasil pada masa depan adalah yang tidak hanya membukakan pintu bagi sebagian talenta dari sebagian anak-anaknya, tetapi mengembangkan semua talenta dari semua anaknya. Dalam menyusun konsep pendidikan, Depdiknas seharusnya berprinsip bahwa misinya berurusan dengan nilai, tidak hanya transmisi pengetahuan dan keterampilan antargenerasi, tetapi membudayakan manusia karena sistem nilai yang dihayati adalah budaya. Pembudayaan nilai-nilai asing oleh sistem pendidikan biasa terjadi di banyak bangsa. Melalui penghayatannya, dengan sadar melakukan aneka perubahan guna mewujudkan jenis masyarakat nasional yang mereka idealkan. Oleh karena itu, secara esensial pendidikan adalah proses yang membiasakan manusia sedini mungkin mempelajari, memahami, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai berguna bagi individu, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negaranya. Bagi kita, juga ada nilai-nilai asing yang harus bisa dihayati sebagai budaya alami melalui pendidikan demi kemajuan individual dan kolektif. Salah satu yang amat penting dan menentukan adalah ”semangat ilmiah”, yaitu ilmu pengetahuan dalam arti proses, yang mengembangkan ”pengetahuan” menjadi ”pengetahuan ilmiah”.

Menurut Suyanto (2006) Untuk membangun Sistem Pendidikan Nasional yang diarahkan kepada konsep Mencerdaskan Kehidupan Bangsa; Pendidikan Nasional hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada demokratisasi bangsa, sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen masyarakat secara demokratis. Dan Pendidikan Nasional hendaknya memiliki misi agar tercipta partisipasi masyarakat secara menyeluruh, sehingga secara mayoritas seluruh komponen bangsa yang ada dalam masyarakat menjadi terdidik.

Namun Pada Aplikasinya Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang dipergunakanpun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya era globalisasi yang berlangsung saat ini.

Dengan alasan era globalisasi dimana oleh Kenichi Ohmae didefinisikan sebagai “borderless world” yaitu suatu negara akan kuat manakala ia mampu merespon secara fenomena 4”I’s” yang terdiri dari : (1) investment; (2) Industry; (3) information technology; dan (4) individual consumers. Sehingga Pendidikan Nasional di arahkan kepada Mencerdaskan Bangsa bukan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.

Categories: Pendidikan Tags:
  1. No comments yet.
  1. No trackbacks yet.

Leave a comment